MaafKalau kita bicara masalah maaf-memaafkan, satu hal yang lekat dengan hal tersebut tentunya adalah momen Idul Fitri, hari raya bagi seluruh umat Muslim di dunia. Namun, tentu saja semua agama, baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, atau yang lainnya memiliki prinsip yang sama: bahwa manusia harus bisa saling memaafkan.

Sering kali, ketika meminta maaf atau memaafkan, kadang kita masih sebatas hanya “di mulut” saja, tanpa ada keikhlasan yang melandasinya. Padahal, tahukah Anda, bahwa memaafkan atau “forgiving” memiliki daya atau kekuatan yang bisa berdampak besar pada diri Anda?

Ketika Nabi Muhammad S.A.W sedang berceramah di kota Ta’if untuk menyebarkan agama Islam, penduduk di sana justru menyiksanya dengan lemparan batu dan ejekan. Ia kemudian meninggalkan kota tersebut dengan keadaan yang penuh luka. Ketika Malaikat Jibril (atau Gabriel) meminta izin pada Nabi Muhammad untuk menghancurkan kota Ta’if dan seluruh penduduknya, Nabi justru menolaknya. Nabi justru berdoa agar Allah menyelamatkan mereka, serta agar suatu saat mereka akan berbakti pada-Nya.

Kemudian, satu peristiwa yang cukup mengejutkan bagi warga Amerika Serikat terjadi di tahun 2006. Di bulan Oktober tahun tersebut, terjadilah suatu peristiwa penembakan dan penyanderaan di sekolah Amish (suatu kelompok di agama Kristen yang membatasi modernisasi) di negara bagian Pennsylvania. Ketika itu, seorang pria bersenjata menyandera murid-murid dari sekolah tersebut, dan akhirnya menembak mati lima siswi yang masih berusia 6-13 tahun. Seperti kasus-kasus serupa, si penembak pun akhirnya bunuh diri.

Hal yang cukup mengejutkan adalah, kelompok Amish ternyata memaafkan si pembunuh dan keluarganya. Beberapa dari mereka mengunjungi istri si pembunuh yang telah menjanda, dan menghiburnya, bahkan mengundangya ke pemakaman siswi yang terbunuh.

Kedua kisah tersebut tersebut adalah contoh nyata dari sikap belas kasih yang nampaknya sudah menjadi luntur di kalangan masyarakat dunia saat ini.

Seorang profesor di Universitas Wisconsin-Madison, Robert Enright, yang juga dikenal sebagai “Dr. Forgiveness” alias Dr. Maaf, pernah melakukan riset tentang hubungan antara forgiving atau memaafkan dengan kesehatan fisik dan psikologis seseorang.

Menurut sebuah penelitian, ketika seseorang memaafkan orang lain yang telah melukainya, maka akan terjadi peningkatan fungsi sistem kardiovaskuler dan sistem syaraf. Selain itu, depresi dan kecemasan juga akan berkurang, serta orang akan bisa menjalani hidup dengan lebih enerjik, antusias, dan optimis. Dr. Frederick Luskin, penulis buku Forgive for Good, juga mengatakan bahwa memaafkan bisa menjadi resep yang bagus untuk kesehatan dan kebahagiaan. Memaafkan juga dapat mengurangi sakit punggung, insomnia/sulit tidur, dan juga sakit perut yang berhubungan dengan stres.

Bagaimanapun, sebaiknya forgiving atau memaafkan tersebut tidak hanya dilandasi dengan niat demi kebaikan diri sendiri, namun juga diiringi dengan keikhlasan, demi kebaikan orang lain. Jadi, dampak dari the power of forgiveness bisa dirasakan secara lebih luas lagi, seperti harapan orang Amish tadi, bahwa apa yang mereka lakukan bisa menjadi suatu langkah ke depan untuk masa depan yang penuh harapan.

“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”
Asy-Syuura: 43

“Orang lemah tak akan bisa memaafkan. Memaafkan adalah sifat orang yang kuat.”
Mohandas Gandhi


Gambar: mikepaulblog.com
Referensi: Harun Yahya, Wikipedia