Ilustrasi: Istana di Maroko
Ilustrasi: Istana di Maroko


Beberapa waktu yang lalu, saya sempat menulis tentang impian yang belum tercapai dan detachment. Cerita bagus yang saya temukan berikut nampaknya bisa menjadi tambahan:

Sumber: Rich Sufi Story 

(Sebenarnya diambil dari buku Latha'if al-Minan (Rahasia yang Maha Indah atau The Subtle Blessings in the Saintly Lives of Abul-Abbas al- Mursi: And His Master Abul-Hasan)


~**~~**~~**~~**~


Beberapa abad yang lalu di sebuah desa yang amat kecil di Maroko, ada seorang lelaki yang memilih untuk hidup sederhana, yang dalam bahasa Arab disebut “zahid”.

Ia adalah seorang nelayan yang penghasilannya tidak banyak, tapi sekecil apapun pendapatannya, ia selalu menyisihkannya untuk sedekah dan menyimpan sisanya.

Suatu hari, salah seorang lelaki penduduk desa tersebut akan pergi ke ibu kota untuk berbisnis. Di desa sekecil itu, berita tersebut termasuk berita besar.

Ketika mendengarnya, sang zahid mengunjungi lelaki itu untuk meminta bantuan. Ia berkata,

"Saudaraku tinggal di ibu kota. Tolong sampaikan salamku, dan mintalah ia untuk berdoa padaku, karena ia adalah wali Allah."

Lelaki tadi menjawab "Tentu, aku akan melakukannya untukmu."

Sang zahid kemudian memberi tahu nama sang wali. Lelaki tadi kemudian pergi ke ibu kota dan menyelesaikan urusan bisnisnya. Kemudian, ia mulai berkeliling kota untuk bertanya apakah ada yang mengenal nama yang tadi diberikan padanya.

Ia diberi tahu bahwa wali tersebut memiliki rumah besar, dan ia pun diberi petunjuk jalan menuju rumahnya. Ketika ia melihat rumah sang wali, ia sangat terkejut.

Rumahnya sangat besar dan indah, kelihatan seperti milik anggota kerajaan. Ia sedang mencari seorang wali, seseorang yang biasanya melepaskan semua kekayaannya, merasa cukup dengan hal yang sedikit dan mendedikasikan hidupnya untuk beribadah.

Lelaki tadi tidak yakin apakah itu rumahnya, tapi ia meyakinkan dirinya untuk bertanya pada penjaga rumah. Sang penjaga mengatakan bahwa pemilik rumah sedang mengunjungi istana Sultan, dan akan kembali sebentar lagi.

Mendengar itu, lelaki tadi hampir yakin bahwa orang itu pasti bukan wali yang ia cari. Sebab, seorang Wali biasanya akan menjauhi semua yang berhubungan dengan kekuasaan dunia, termasuk orang yang memiliki kekuasaan.

Tapi, ia memutuskan untuk menunggu sang pemilik rumah, karena ia sudah datang jauh-jauh dari desa. Ia ingin memastikan bahwa orang itu bukanlah orang yang ia cari.

Kira-kira satu jam kemudian, pemilik rumah pun datang. Ia memakai pakaian mahal, mengendarai kuda yang bagus, dan dikelilingi pelayan dan penjaga layaknya seorang raja.

Teman sang zahid tadi pun berpikir bahwa tidak mungkin orang tersebut seorang wali. Ia hampir saja pulang tanpa berbicara dengan pemilik rumah itu, tapi mengurungkan niatnya karena ia pikir sang zahid tadi akan kecewa jika ia tidak berusaha maksimal untuk mencari sang wali.

Jadi, ia meminta izin untuk bertemu sang pemilik rumah, dan ia pun terkejut ketika ia langsung dipersilakan masuk. Ada banyak benda mahal dan banyak pelayan di dalamnya.

Ia akhirnya bertemu sang pemilik rumah, dan memberi tahunya bahwa ia datang dari desa, dan bahwa ia membawa pesan sang zahid. Orang kaya itu bertanya,

"Kau berasal dari desanya?"

"Ya.”, kata teman sang zahid tadi.

Orang kaya itu kemudian mengatakan,

"Ketika kau pulang, tolong sampaikan hal ini padanya: Sampai berapa lama lagi kau akan terus sibuk untuk urusan dunia? Berapa lama lagi kau akan terus mencarinya? Kapan kau akan berhenti menginginkan hal seperti itu?".

Teman sang zahid pun tak bisa berkata apa-apa.

Ia kemudian pulang dan menemui sang zahid. Sang zahid bertanya apakah ia berhasil bertemu sang wali, dan ia membenarkannya. Sang zahid pun kembali bertanya tentang apa pesan yang ia sampaikan.

Karena tidak ingin menyakiti perasaan sang zahid, lelaki tadi menjawab,

"Tidak ada. Ia tidak berkata apapun."

Sang zahid berkata, "Kau harus berkata yang sejujurnya."

Ia pun menceritakan semuanya. Mendengar ceritanya, sang zahid pun menunduk dan tak bisa berkata apa-apa. Beberapa saat kemudian, pelupuk matanya dipenuhi air mata.

Beberapa saat kemudian, ia berkata,

“Saudaraku memang benar. Allah telah menghilangkan keinginan duniawi dari hatinya, tapi justru memberinya semua itu. Sedangkan aku, Allah memberiku sangat sedikit, tapi aku kadang masih memikirkannya.”


~**~~**~~**~


Catatan: 

Sufi adalah istilah untuk orang yang mendalami ilmu ketakwaan kepada Allah S.W.T, seperti berdzikir.

Dengan cerita tersebut, penulis (Ibn Athaillah al-Sakandari) sebenarnya ingin mencontohkan bahwa ada wali Allah yang disembunyikan dengan harta berlimpah dan kelapangan dunia. Namun ada berbagai sisi pelajaran lain yang bisa kita ambil.

Menurut saya, salah satunya adalah bahwa tidak ada salahnya dengan memiliki kekayaan materi atau harta. Memang, kekayaan sejati tidak bisa dinilai dari harta benda, tetapi baik atau buruknya kelapangan materi adalah tergantung untuk apa kita menggunakan harta dan bagaimana kita memandang harta kita.

Sufi kaya tadi diberi keberlimpahan harta, tetapi ia tidak terikat atau detached dengan hartanya, tidak seperti sang zahid yang sebenarnya masih memikirkan hartanya.



Foto: Aitorgavi


Update:

Ada versi cerita lain yang lebih detail, dengan mengungkapkan nama-nama sufi yang dimaksud. Sufi yang kaya raya tersebut adalah Muhyiddin Ibn ‘ArabĂ®. Silakan dibaca di artikel ini: Sekali Lagi Zuhud.