Sebagai seorang warga negara yang menerapkan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa”, saya percaya bahwa niat (intention) seseorang dalam melakukan sesuatu itu penting, karena kita harus mempertanggungjawabkannya kelak.

Kecuali bila saya seorang atheis, mungkin saya tidak akan mempedulikannya.

Saya tidak sedang membicarakan “the power of intention” untuk, misalnya, bagaimana mewujudkan impian pribadi, tetapi lebih kepada untuk apakah tujuan kita dalam melakukan sesuatu.

Seperti sabda Nabi Muhammad S.A.W,

“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya.”

Jika niatnya mencari kekayaan, maka hanya kekayaan yang akan kita dapat. Jika niatnya mencari pujian, maka pujianlah yang kita dapat.

Jika Anda sudah membaca posting yang terdahulu tentang cerita sufi yang kaya raya, Anda pasti sudah tahu bahwa salah satu inspirasi moral yang bisa didapat dari cerita itu (menurut saya pribadi, mungkin Anda punya versi yang lain) adalah bahwa harta bisa disikapi dengan berbagai cara.

Baik buruk kekayaan adalah tergantung niat kita terhadapnya (dan tentu saja bagaimana kita mendapatkannya).

Nah, baru-baru ini saya membaca sebuah artikel berjudul “Bisnis yang Berkarakter” dari Pak Yuswohady. Jika Anda membaca komentar pertama di artikel tersebut, inilah apa komentar saya:

Sreenshot


Ya, saya memang langsung terinspirasi dari prinsip Pak David Marsudi yang memiliki jaringan D’Cost Seafood Restaurant yaitu “Distributor Rezeki”.

Jadi, Pak David memiliki prinsip bahwa D’Cost harus bisa menjadi distributor rezeki bagi siapapun yang berhubungan dengan mereka, termasuk karyawan dan rekan bisnis. Jadi, membuka jaringan restoran bukan hanya untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.


David Marsudi, pendiri D'Cost Seafood Restaurant


Wow, sungguh damai di hati mendengarnya 

Setelah membaca artikel tersebut, ketika saya melakukan apa yang biasa disebut dengan “blogwalking” alias jalan-jalan membaca blog milik blogger lain dan meninggalkan komentar jika ada yang ingin disampaikan, saya mulai berpikir,

“Kenapa tidak diniatkan saja ‘blogwalking’ ini menjadi ‘silaturahmi blog’ dan memberi komentar sebagai ‘sedekah komentar’?”

Jadi, blogwalking tidak menjadi sebuah kegiatan yang dilakukan untuk memberi komentar biasa, komentar “spam”, atau mencari backlink, tetapi bisa dimanfaatkan sebagai suatu kegiatan di mana kita “bersilaturahmi online” mengunjungi blog lain dan “bersedekah komentar” meskipun hanya di dunia maya saja, karena menurut pengamatan saya banyak blogger yang menganggap bahwa komentar pembaca adalah salah satu yang memotivasi mereka.

Terus terang, saya selama ini semakin rajin mengunjungi blog lain kalau “ada maunya” saja…ha ha ha

Saya juga jadi teringat ketika melihat tayangan wawancara Ustadz Maulana (itu lho, yang suka bilang “Jama’aaaaah….oooh Jama’aaaaah….”) di sebuah acara infotainment (ketahuan deh, suka nggosip...) bahwa tradisi saat Lebaran seperti pulang kampung, membeli baju baru, dan bagi-bagi “angpao” bisa menjadi baik dengan niat yang baik, jadi bukan hanya sekedar tradisi tahunan saja, atau yang lebih buruk dimanfaatkan sebagian orang untuk “pamer”.

Misalnya saja mudik untuk bersilaturahmi dengan keluarga, membeli baju baru sebagai simbol untuk memulai perubahan baru, dan bagi-bagi “angpao” untuk membagi-bagi rezeki yang didapat di kota pada sanak saudara di kampung.

Oh ya, kembali ke masalah blogging, kadang blogger bersikap “pelit” untuk memasang backlink atau URL ke situs lain sebagai referensi. Entah karena takut pembaca pindah ke blog lain, takut klik iklan menurun, atau karena takut peringkat di mesin pencarian Google turun.

Kadang saya masih punya pemikiran semacam itu, tapi mulai sekarang saya akan berusaha untuk selalu berniat “sedekah backlink” jikalau ada blog yang perlu mendapatkan kredit.

Pak David Marsudi dari D’Cost tadi juga punya prinsip bahwa kita tak usah mengurusi kapan akan mendapat balasan atau keuntungannya, karena masalah waktu Tuhan lah yang mengatur. Untuk masalah backlink tadi, masalah pembaca pergi ke blog lain, kalau memang bermanfaat dan lebih baik ya tak mengapa.

Saya juga jadi ingat lagi nih, bahwa di dalam salah satu presentasinya, Wayne Dyer pernah mengatakan bahwa ia selalu mengambil koin yang jatuh yang tak sengaja ia temukan dijalan, dan mengumpulkannya dalam toples.

Menurutnya, ia tidak berniat untuk mengambil koin-koin yang kecil nilainya itu untuk berbelanja, tetapi sebagai pengingat atau simbol akan keberlimpahan atau abundance yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Kaya.