Tekanan Untuk Menjadi Sukses
Kamu milenial? Merasakan tekanan untuk menjadi sukses dan bahagia?
Kamu tidak sendirian.
Dulu saya hobby membaca literatur tentang sukses, termasuk nonton YouTube tentang orang-orang kaya yang suka memberi seminar dan motivasi seperti Tony Robbins, Grant Cardone, dan sebagainya.
Saya pikir hal-hal seperti itu akan memberi semangat.
Ternyata tidak. Justru sebaliknya.
Pernahkah kamu bertanya, kenapa ada banyak buku self-help yang dijual, tapi nampaknya tidak ada yang berhasil diterapkan dalam hidup kita sehari-hari?
Hmm...
Pernahkah juga kamu bertanya, bahwa mungkinkah ternyata sumber masalah yang membuat kita depresi dan tidak tenang adalah justru buku-buku self-help tersebut, di mana kita selalu diberitahu bahwa kita harus terus menerus mencapai sesuatu (achieve), hidup sukses dan bahagia?
Di mana kita harus kaya dan menjadi orang yang kuat, entah karena suatu keyakinan ideologi, doktrin tertentu atau apapun itu?
Kenyataannya, menekan orang untuk sukses justru adalah sebuah paradoks.
Paling tidak itulah yang terjadi jika definisi "sukses" kita adalah status dan finansial.
Tapi ada juga tekanan untuk selalu bahagia dan damai. Kalau tidak bahagia, takut, dan sedih, berarti ada masalah dengan siapa diri kita, bahwa kita orang yang moralnya dipertanyakan.
Padahal manusiawi untuk merasakan kesedihan dan ketakutan, dan kalau kita punya masalah kesehatan mental, tidak berarti kita tidak bermoral.
Kita masih hidup dalam masyarakat di mana membicarakan masalah kesehatan mental masih mendapatkan stigma. Padahal kesehatan mental sama dengan kesehatan fisik.
Tapi ada juga tekanan untuk selalu bahagia dan damai. Kalau tidak bahagia, takut, dan sedih, berarti ada masalah dengan siapa diri kita, bahwa kita orang yang moralnya dipertanyakan.
Padahal manusiawi untuk merasakan kesedihan dan ketakutan, dan kalau kita punya masalah kesehatan mental, tidak berarti kita tidak bermoral.
Kita masih hidup dalam masyarakat di mana membicarakan masalah kesehatan mental masih mendapatkan stigma. Padahal kesehatan mental sama dengan kesehatan fisik.
Ekspektasi atau harapan-harapan yang justru menjadi tekanan inilah yang membuat kita tidak bahagia.
Dan jika kamu adalah seorang milenial dan merasakan tekanan untuk sukses, kamu tidak sendirian. Menurut data dari Rose Kumar, M.D yang ditulisnya di Huffington Post, generasi milenial menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi ketimbang generasi X (kelahiran antara pertengahan 1960an - awal 1980an), maupun generasi Baby Boomers (kelahiran antara 1946 - 1964).
Ide bahwa "kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan" justru toxic.
Apalagi dengan adanya media sosial, di mana orang membombardir kita tentang berbagai hal yang luar binasa biasa, seperti orang-orang yang sukses di usia muda, bukan mereka yang memulai lagi di usia 60 an.
Menurut Simon Sinek dalam artikel di Daily Mail, milenial memang punya tekanan untuk sukses yang lebih besar karena "Mereka tumbuh menyaksikan orang-orang seperti Mark Zuckerberg menjadi miliarder di usia 20-an dan itu menjadi standar."
Mungkin itulah kenapa, seperti yang dikutip di situs perusahaan riset dari Inggris, Ipsos MORI, generasi muda cenderung makin menjauh dari minat-minat materialistis daripada generasi sebelumnya.
Ada bukti bahwa, secara generasi, apa artinya menjadi sukses dan bahagia telah menjauh dari minat-minat materialistis. Tentu saja, sikap idealis lebih mudah dilakukan ketika mengandalkan 'Bank Ayah dan Ibu' , tetapi dibanding dengan anak-anak sekolah di usia yang sama 7 tahun lalu, nampaknya memang ada pergeseran dalam nilai-nilai.
Selain tekanan untuk menjadi sukses, kita juga dibombardir tekanan untuk mendapat tubuh "ideal".
Sampai-sampai, aktris Jameela Jamil yang terkenal dari sitkom peraih penghargaan The Good Place, membuat akun i_Weigh di instragram yang khusus menangkal masalah body shaming ini.
Bukannya anti kesehatan atau kebugaran, tapi kesehatan tidak bisa kita dapatkan kalau yang kita rasakan justru minder dan tidak percaya diri akan berat badan, bukan fokus pada kesehatan itu sendiri.
Kelihatan "gemuk" di mata orang-orang bukan berarti tidak sehat, asalkan kita sudah menjalani hidup sehat, seperti contohnya dancer berukuran plus, Amanda LeCount.
Kelihatan "gemuk" di mata orang-orang bukan berarti tidak sehat, asalkan kita sudah menjalani hidup sehat, seperti contohnya dancer berukuran plus, Amanda LeCount.
Amanda bukannya malas dan makan seenaknya, ia sendiri sudah berkonsultasi dengan dokternya dan ia sudah menjalani gaya hidup yang sehat.
Jadi, entah itu tekanan menjadi bahagia dan sukses secara finansial, ataupun tekanan untuk punya badan yang katanya "ideal", memang dirasakan kaum muda.
Jadi apa yang harus kita lakukan?
Saya bukan psikolog atau filsuf, tapi saya ingin membagikan kata bijak dari Marcus Aurelius ini:
"Tetapi kematian dan kehidupan, kesuksesan dan kegagalan, rasa sakit dan kesenangan, kekayaan dan kemiskinan, semua ini terjadi pada orang baik maupun jahat, dan itu semua tidaklah mulia atau memalukan — dan karenanya tidaklah baik ataupun buruk."
Baca juga: Bagaimana Pria Ini Mulai Lagi Di Usia 66 Tahun Setelah Dipecat Dari Pekerjaannya
0 Komentar
Ingin menambahkan sesuatu dari posting di atas? Ingin berdiskusi?
Semuanya dipersilakan, namun mohon maaf karena komentar dengan bahasa yang kurang layak ataupun spam tidak akan saya munculkan.
Mohon pengertiannya :-)